Berbicara
mengenai manusia merupakan sebuah pembicaraan yang telah dari semenjak dulu
dilakukan, namun hasil dari penelitian di dalamnya belum dapat sampai pada
titik puncak yang dapat memuaskan dan menjawab berbagai persoalan tentang
manusia itu sendiri (Wahyudin, n.d.). Dari sini dapat difahami bahwa
pembahasan tentang hakekat manusia merupakan pembahasan yang tidak habis di
makan waktu dan dalam setiap pembahasannya sangat dimungkinkan muncul ide-ide
baru tentang manusia dan kemanusiaan.
Dalam
al-Quran salah satu redaksi yang dipakai untuk meredaksikan manusia adalah
al-insan. Al-insan terbentuk dari akar kata nasiya
yang artinya lupa. Kata al-Insan dinyatakan dalam Al-Quran sebanyak 73
kali yang disebut dalam 43 surat. Penggunaan kata al-Insan pada umumnya
digunakan untuk menggambarkan pada keistimewaan manusia penyandang predikat
khalifah di muka bumi, sekaligus dihubungkan dengan proses penciptaannya.
Keistimewahan tersebut karena manusia merupakan makhluk psikis yang memiliki
potensi dasar, juga dibekali akal dan kalbu. Dimana potensi ini
menempatkan manusia sebagai makhluk Allah yang mulia dan tertinggi dibanding
makhluk-Nya yang lain. Nilai psikisnya sebagai al-Insan al-Bayan yang
dipadu wahyu Ilahiyah akan membantu manusia dalam membentuk dirinya
sesuai dengan nilai-nilai insaniah yang terwujud dalam perpaduan iman
dan amalnya.
Dengan pengembangan nilai-nilai tersebut akhirnya manusia mampu mengemban amanah Allah di muka bumi. Hal inilah yang mendasari pentingnya pengkajian terhadap hakekat manusia dalam perspektif Islam agar manusia benar-benar dapat diterjemahkan dalam wujud yang lebih nyata sehingga sangat membantu dalam terbentuknya proses pengembangan manusia itu sendiri, yaitu proses pendidikan.
Dengan berkat rahmat dan
inayah-Nya semata, manusia telah diciptakan dengan segala kesempurnaan bahkan
dinyatakan secara isyarat di dalam firmanNya: bahwa "manusia adalah
makhluk sempurna dan termulia dari seluruh makhluk ciptaan" (QS. 95:4). Demikian
itulah keagungan sifat Allah Kepada manusia, Manusia yang sebenarnya dicipta
dari bahan yang sangat hina ternyata dengan segala kemurahan kasih-Nya
dibimbing dan didekatkan kepada-Nya selaku makhluk termulia atau tertinggi di
antara makhluk ciptaan (QS. 17:70). Sehingga manusia yang berkeadaan mulia dan
tinggi diantara makhluk ciptaan dapat dijadikan wadah kecintaan Allah, karena
hakikat manusia diciptakan tidak lain untuk dijadikan wadah kecintaan Allah.
Manusia merupakan makhluk yang
sempurna karena diberikan sebuah wujud yang paling baik serta potensi yang
sangat lengkap. Dengan potensinya manusia bisa menjadi baik bahkan mungkin
lebih baik dari malaikat, dan dengan potensinya juga manusia bisa menjadi jahat
bahkan lebih jahat dari pada syetan sekalipun.
Dengan demikian, maka kesempurnaan
manusia merupakan potensi agar manusia dapat menjadi manusia yang baik dan
bermanfaat untuk manusia yang lain dan alam tempat manusia itu tinggal. Namun,
kemampuan manusia untuk mengaktualisasikan potensi itu terbatas karena
akal manusia memang terbatas. Disinilah
pentingnya kesadaran bahwa posisi manusia adalah hamba Alloh swt.
Manusia
sebagai hamba Alloh adalah sebuah keniscayaan dan juga sekaligus sebagai
pengakuan tentang keterbatasan manusia itu sendiri. Artinya adalah bahwa
manusia dapat keluar dari keterbatasannya sebagai seorang manusia hanya apabila
ia benar-benar menghambakan dirinya kepada Alloh SWT.
Sebagai hamba
Allah, manusia wajib mengabdi dan taat kepada
Allah selaku Pencipta karena adalah hak Allah untuk
disembah dan tidak disekutukan (Khasinah, 2013). Bentuk pengabdian manusia sebagai hamba Allah tidak terbatas hanya pada
ucapan dan perbuatan saja, melainkan juga
harus dengan keikhlasan hati, seperti yang diperintahkan dalam surah Bayyinah: “Padahal mereka tidak disuruh ke›uali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama
yang lurus …,” (QS:98:5).
Dalam surah adz- Dzariyat Allah menjelaskan:
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah
Aku.” (QS51:56).
Dengan demikian, maka manusia yang menyadari posisinya sebagai hamba Alloh ia
akan memberikan seluruh hidupnya untuk proses pengabdian kepada Alloh swt.
Kata “Pengabdian” disini tentu
merupakan kata yang sangat umum, segala bentuk aktifitas manusia bisa menjadi
suatu pengejawantahan dari pengabdian manusia kepada Tuhannya. Semuanya
tergantung pada apa yang mendasarinya. Lalu apa yang mesti menjadi dasar dari
aktifitas manusia ?. Mengenai hal ini dapat kita analisis dari QS. Al-Alaq ayat
1, Iqra’ bismirabbikaladzi kholaq.
Al-Quran surat al-Alaq ayat 1 itu memberikan
sebuah pemahaman bahwa segala bentuk aktifitas manusia yang disimbolkan oleh
kata “Iqra” harus didasarkan kepada “ismu robbik”, yaitu
bagaimana seorang manusia mampu untuk menjadikan Alloh swt sebagai satu-satunya
tempa mengabdi, sebagai satu-satunya tempat meminta pertolongan dan sebagai
satu-satunya tempat bersandar. Inilah hakikat penghambaan kepada Alloh swt.
Maka dari itu, manusia sebagai hamba Allah akan menjadi manusia yang taat, patuh dan mampu melakoni perannya sebagai hamba yang hanya mengharapkan ridha Allah dan sebantiasa bewrsama Alloh dalam segala aktifitasnya..
Alloh
memuliakan manusia maka jadilah manusia sebagai makhluk yang mulia. Alloh
memberikan manusia rizki yang baik dan menjadikan manusia sebagai makhluk yang
sempurna dibandingkan dengan makhluk yang lainnya (QS. Al-Isro : 70).
Manusia dimuliakan dengan bentuk
yang paling baik dan akal yang mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, memiliki kebebasan dalam
mengambil keputusan serta Akal, ini jugalah yang membuat manusia menjadi pintar
dalam berbicara (al-Mahalli,
Jalaludin & As-Suyuthi, n.d.).
Penjelasan QS Al-Isra ayat 70
dalam beberapa tafsir dikatakan bahwa manusia dimuliakan oleh Alloh swt melalui
akal yang dimilikinya yang pada akhirnya akan mampu membentuk sebuah peradaban
yang penuh dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini telah
dibuktikan manusia setidaknya melalui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin hari semakin pesat.
Namun di sisi lain, kemuliaan
manusia tidak secara langsung menjadikan manusia menjadi makhluk yang mulia
juga di hadapan Alloh swt, karena kemuliaan manusia dihadapan Alloh dipandang
dari sisi ketakwaan dari manusia tesrebut (QS. Al-Hujurat : 13).
Oleh karena itu, Alloh memuliakan
manusia sebagaimana dalam al-Quran surat Al-Isra merupakan kemuliaan bila
dibandingkan dengan makhluk yang lainnya, yaitu manusia diberikan kemampuan
untuk berfikir dan memiliki potensi yang besar untuk dapat membentuk sebuah
peradaban di muka bumi. Adapun derajat kemuliaan di sisi Alloh akan sangat
tergantung pada apakah semua potensi yang dimilikinya itu -yang membuat manusia
mulia – mampu membuat manusia bisa menjadi lebih takwa atau tidak.
Dengan kata lain, Manusia sebagai makhluk yang mulia adalah potensi besar bagi manusia untuk dapat membuat dirinya menjadi makhluk yang bertanggung jawab terhadap diri dan lingkungannya serta tentu pada agamanya juga. Tanggung jawab terhadap diri bisa dalam bentuk pengembangan dirinya sendiri sebagai seorang manusia untuk menjadi manusia yang lebih berdaya guna, terhadap alam bisa dalam bentuk upaya untuk membuat sebuah peradaban yang lebih baik dan tanggung jawab terhadap agamanya adalah bagaimana Ia mampu untuk menegakan dan meninggikan syiar-syiar agamanya.
Diantaranya
Adalah posisi manusia sebagai khalifah. Dalam al-Quran, kata khalifah dalam bentuk tunggal
terulang dua kali dalam al-qur‟an yaitu pertama dalam surah
Al-Baqarah ayat 30.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah
di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui."
Pengertian khalifah dalam ayat
diatas, menurut ar-Razi yang dikutip oleh. Umar shihab ada dua: pertama
Adam sebagai pengganti
jin untuk menempati dunia, setelah jin ditiadakan
sebagai penghuni bumi terdahulu. Kedua Adam adalah penguasa
Bumi, sebagai pengganti
Allah dalam menegakkan hukum-hukumnya diatas bumi (Shihab,
2005).
Yang kedua surah As-Shad ayat 26 :
Hai
Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan
(perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu, karena
ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat
azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”
Dalam ayat ini, khalifah diartikan
sebagai pengganti dari orang-orang terdahulu (Ilyas,
2016).
Keseluruhan kata tersebut berakar
dari kata khulafa yang
pada mulanya berarti
“dibelakang” darivsini kata khalifah seringkali diartikan
sebagai “pengganti” (karena yang menggantikan selalu berada atau datang dibelakang, sesudah yang digantikan).
Dalam konsep Islam, manusia adalah
khalifah yakni sebagai wakil, pengganti atau duta tuhan di muka bumi.dengan kedudukannya sebagai khalifah Allah swt dimuka bumi, manusia
akan dimintai tanggungjawab dihadapannya. Tentang bagaimana
ia melaksanakan tugas suci kekhalifahannya. Oleh sebab itu dalam melaksanakan tanggungjawab itu manusia
dilengkapi dengan berbagai
potensi seperti akal pikiran yang memberikan kemampuan bagi manusia berbuat demikian (Ilyas,
2016).
Kewajiban manusia sebagai khalifah
harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Hal ini secara langsung terdapat pada hadits nabi yaitu “masing-masing
kamu adalah orang yang bertanggung jawab, maka akan diminta (kelak)
pertanggungjawabannya, raja adalah orang yang bertanggung jawab atas rakyat
yang dipimpinya, dan dia (penguasa) akan dimintai pertanggungjwabannya tentang
mereka, seorang laki-laki kepala rumah tangga bertanggung jawab atas
keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawabannya tentang mereka, dan seora
ng perempuan sebagai ibu rumah tangga harus bertanggung jawab atas suami dan
anak-anaknya dan akan dimintai pertanggungjawabannya tentang mereka, pembantu
bertanggung jawab atas harta majikannya, dan akan diminta pertanggungjawabannya
tentang itu, ingatkah bahwa masing-masing kamu adalah orang yang bertanggung
jawab, dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kamu
lekolanya” (HR. Imam Bukhari dari Abdullah Ibnu Umar).
Islam sebagai agama dalam
kehidupan sejatinya memiliki visi dan misi rahmah li al-Alamin (kebaikan bagi
semesta alam), dengan mewujudkan visi dan misi tersebutlah Allah menugaskan
kepada manusia sebagai khalifah di Bumi. Seperti yang dijalaskan dalam surat
Al-Ahzab ayat 72, yaitu:
“Sesungguhnya kami telah
mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan
untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan menghianatinya, dan
dipikullah amanah itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat
bodoh”
Tugas manusia sebagai khalifah adalah untuk menjaga dan bertanggungjawab atas dirinya, sesama manusia dan alam yang menjadi sumber penghidupan. Karena sudah menjadi kewajiban bagi manusia yang merupakan khalifah di bumi memiliki dua bentuk sunatullah yang harus dilakukan, yaitu baik kewajibannya antara manusia dengan tuhannya, antara sesama manusia sendiri, dan antara manusia dengan ekosistemnya (Mardliyah et al., 2018). Kewajiban tersebut haru dilaksanakan karena merupakan amanah dari Allah sang pencipta. Tanggung jawab manusia terhadap moral agama sebagai khalifah di bumi yaitu mengelola sebaik-baiknya alam semesta dan kehidupan sosial didalamnya. Kehidupan manusia sangat tergantung kepada komponen-komponen lain dalam ekosistem sehingga secara moral manusia terhadap alam dituntut untuk bertanggungjawa kepada kelangsungan, keseimbangan dan kelestarian alam yang menjadi sumber kehidupannya.
Manusia adalah makhluk bertanya,
ia mempunyai hasrat untuk mengetahui segala sesuatu. Atas dorongan hasrat ingin
tahunya, manusia tidak hanya bertanya tentang berbagai hal yang ada di luar
dirinya, tetapi juga bertanya tentang dirinya sendiri (Fadhilah
& Maunah, 2021). Dalam rentang ruang dan waktu,
manusia telah dan selalu berupaya mengetahui dirinya sendiri.
Hakikat manusia di pelajari
melalui berbagai pendekatan (common sense, ilmiah, filosofis, religi) dan
melalui berbagai sudut pandang (biologi, sosiologi, antropobiologi, psikologi,
politik). Dalam kehidupannya yang riil manusia menunjukkan keragaman dalam
berbagai hal, baik tampilan fisiknya, strata sosialnya, kebiasaannya, bahkan
pengetahuan tentang manusia pun bersifat ragam sesuai pendekatan dan sudut
pandang dalam melakukan studinya.
Berbagai kesamaan yang menjadi
karakteristik esensial setiap manusia ini disebut pula sebagai hakikat manusia,
sebab dengan karakteristik esensialnya itulah manusia mempunyai martabat khusus
sebagai manusia yang berbeda dari yang lainnya. Contoh: manusia adalah animal
rasional, animal symbolicum, homo feber, homo sapiens, homo sicius, dan
sebagainya.
Manusia adalah makhluk ciptaan
Tuhan yang dibekali dengan akal dan pikiran. Manusia merupakan makhluk yang
dapat dididik memungkinkan untuk memperoleh pendidikan. Manusia merupakan
makhluk yang perlu dididik karena manusia lahir dalam keadaan tidak berdaya,
lahir tidak langsung dewasa. Pada hakekatnya manusia itu adalah animal
educable (binatang yang dapat dididik), animal educandum (binatang
yang harus dididik) dan homo educandus (makhluk yang dapat mendidik).
Menurut Langeveld (Fadhilah
& Maunah, 2021), seorang ahli pendidikan yang
mengatakan bahwa manusia sebagai animal educable, artinya pada
hakikatnya manusia adalah mahluk yang dapat dididik. Di samping itu, manusia
juga bisa disebut sebagai animal educandum yang artinya manusia pada
hakikatnya adalah mahluk yang harus atau perlu dididik, serta homo
enducandus yang bermakna bahwa manusia merupakan makhluk yang bukan hanya
harus dan dapat dididik tetapi juga harus dapat mendidik.
Deskripsi di atas mengungkapkan
secara jelas bahwa ada mata rantai yang erat antara hakikat manusia dengan
Garapan pendidikan sebagai salah satu usaha sadar untuk lebih memanusiakan
manusia. Garapan pendidikan merupakan sesuatu yang mutlak bagi manusia.
Dalam al-Qur’an juga dikatakan
bahwa tugas kekhalifahan manusia menyangkut tugas-tugas antara lain; menuntut
ilmu (Qs. al-Nahl:43), manusia sebagai makhluk yang harus/dapat didik (Qs.
al-Baqarah:31), dan yang harus/dapat mendidik (Qs. Ali Imran:187, Al-An’am:51).
Dari hakekat ini jelas bahwa pendidikan itu merupakan keharusan mutlak bagi
manusia.
Oleh karena itu mengapa manusia
perlu dididik maka dapat ditinjau dari berbagai aspek. Pada permulaan kehidupan
(masa bayi/anak-anak), mula-mula yang paling berperan adalah dari segi fisik,
kemudian secara berangsur-angsur segi rohani berganti memegang peranan penting.
Perkembang fisik individu ditentukan oleh dua faktor yaitu maturation
(kematangan) dan learning (belajar).
Seorang anak akan dapat berjalan
jika memiliki tulang-tulang kaki dan otot yang cukup kuat disertai dorongan
untuk berjalan adalah faktor kematangan. Tetapi kematangan itu sendiri belum
cukup untuk memiliki kemampuan untuk berjalan, ia harus belajar terus dan
dibantu oleh orang lain.
Ditinjau dari sisi lain, hakekat
manusia adalah sebagai makhluk individu dan sosial makhluk dunia dan akhirat,
terdiri dari unsur jiwa dan raga yang diciptakan oleh Allah lewat hubungan
orang tua untuk hidup bersama secara sah lewat pernikahan, karena itu secara
kodrati, orang tua harus mendidik anak-anaknya secara bertanggung jawab. Orang
tua tidak cukup hanya memberikan makan, minum,dan pakaian kepada anaknya,tetapi
harus berusaha bagaimana agar anaknya menjadi pandai,bahagia berguna bagi
masyarakat bangsa dan negara.
Perkembangan manusia dipengaruhi
oleh faktor dari dalam dirinya dan faktor dari luar. Faktor dari dalam meliputi
semua potensi yang dibawa sejak lahir, potensi ini tetap terpendam apabila
tidak dikembangkan melalui pendidikan, inipun juga tergantung dari kemauan.
Jadi pendidikan fungsinya untuk mengaktualisasikan potensi-potensi tersebut.
Faktor dari luar yang dapat
mempengaruhi perkembangan manusia yaitu lingkungan alam. Artinya lingkungan
anak dengan anak,anak dengan orang dewasa, orang dewasa dengan orang dewasa
yang saling berinteraksi. Lingkungan budaya berupa sopan santun,TV,majalah,
serta lingkungan alam secara geografisnya, namun karena perkembangan iptek
pengaruh lingkungan alam dapat diatasi.
Manusia adalah subjek pendidikan
dan sekaligus pula sebagai objek pendidikan, sebagai subjek pendidikan manusia
(khususnya manusia dewasa) bertanggung jawab dalam menyelenggarakan pendidikan
secara moral berkewajiban atas perkembangan pribadi anak-anak mereka, generasi
penerus, manusia dewasa yang berfungsi sebagai pendidik bertanggung jawab untuk
melaksanakan misi pendidikan sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai yang
dikehendaki manusia tempat pendidikan berlangsung. Sebagai objek pendidikan,
manusia (khususnya anak) merupakan sasaran pembinaan dalam melaksanakan
pendidikan, yang pada hakekatnya memiliki pribadi yang sama seperti manusia
dewasa, namun karena kodratnya belum berkembang (Fadhilah
& Maunah, 2021).
Semua itu merupakan
potensi-potensi insani atau Sumber Daya Manusia yang diberikan oleh Allah swt. untuk
dikembangkan dan ditingkatkan kualitasnya. Esensi Sumber Daya Manusia yang
membedakan dengan potensi-potensi yang diberikan kepada makhluk lainnya
merupakan anugerah yang sangat tinggi nilainya (Achmadi,
2005).
Alat-alat potensial manusia atau
fitrah tersebut harus ditumbuhkembangkan secara optimal terpadu melalui proses
pendidikan sepanjang hayatnya. Manusia diberi kebebasan atau kemerdekaan untuk
berikhtiar mengembangkan alat-alat potensial dan potensi-potensi dasar manusia
tersebut. Namun demikian, dalam pertumbuhan dan perkembangan tidak bisa
dilepaskan dari adanya batas-batas tertentu, yaitu adanya hukum-hukum yang
pasti dan tetap menguasai alam, hukum yang menguasai benda-benda maupun
masyarakat manusia sendiri, yang tidak tunduk dan tidak pula bergantung pada
kemauan manusia. Hukum-hukum inilah yang disebut takdir (keharusan universal
atau kepastian umum) sebagai batas akhir dari ikhtiar manusia dalam kehidupan.
Dari konsep ini, maka pendidikan
yang merupakan alat agar manusia dapat mengaktualisasikan potensi insani yang
dimilikinya harus dapat mengarahkan konsep pendidikannya ke bentuk-bentuk sebagaimana
yang dijelaskan di atas, sehingga pendidikan benar-benar dapat merubah manusia
menjadi manusia khalifah Allah di muka bumi dengan keberhasilannya
mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya atau dengan kata lain manjadi
manusia yang sempurna (insan kamil).
Abdussalam, (2011), Pembelajaran
dalam al-Quran, Disertasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Achmadi. (2005). Ideologi
Pendidikan Islam. Pustaka Pelajar.
Al-Ghazali, (n.d) Ihya Ulumuddin, Maktabah Syamilah
al-Mahalli, Jalaludin &
As-Suyuthi, J. (n.d.). Tafsir Jalalain. Maktabah Syamilah.
Fadhilah, I. A., & Maunah, B.
(2021). Manusia Sebagai Makhluk yang Perlu dan Dapat Dididik. Amirul, Izza
& Maunah, Binti, 15(2), 254–268. https://doi.org/10.30957/cendekia.v15i2.718.Manusia
Ilyas, R. (2016). Manusia Sebagai
Khalifah Dalam Persfektif Islam. Mawa’Izh: Jurnal Dakwah Dan Pengembangan
Sosial Kemanusiaan, 7(1), 169–195.
https://doi.org/10.32923/maw.v7i1.610
Khasinah, S. (2013). Hakikat
Manusia dalam Prespektif Barat dan Islam. 13, NO. 2, 296–317.
Mardliyah, W., Sunardi, S., &
Agung, L. (2018). Peran Manusia Sebagai Khalifah Allah di Muka Bumi: Perspektif
Ekologis dalam Ajaran Islam. Jurnal Penelitian, 12(2), 355.
https://doi.org/10.21043/jp.v12i2.3523
Shihab, U. (2005). Kontekstualitas
Al-Qur,an; Kajian Tematik Ayat-ayat Hukum dalam AlQur‟anNo Title. Penamadani.
Wahyudin, D. (n.d.). Pendidikan
Agama Islam untuk Perguruan Tinggi. Grafindo.