BERITA

TOLERANSI DAN MENGHORMATI PERBEDAAN

 

A.        Pentingnya toleransi dalam masyarakat yang beragam.

Indonesia merupakan negara dengan kemajemukan (plural) yang luar biasa. kemajemukan ini bukan hanya pada suku, budaya, bahasa dan ras, melainkan juga dalam agama. semuanya bermacam ciri khas dan keistimewahannya masing-masing. Tak heran bila dalam system Pendidikan Indonsia terdapat muatan lokal yang sebagian besarnya diwajibkan oleh pemerintah daerahnya sebagai wahana untuk mempelajarai Bahasa daerah. Inilah yang dibanggakan Indonesia sampai saat ini dan juga merupakan kekayaan negara yang mungkin tidak dimiliki oleh negara yang lain.

Begitupun dalam agama, masyarakat Indonesia juga majemuk. Bahkan kemajemukan dalam bidang agama lebih memiliki potensi  untuk melahirkan konflik bila di bandingkan dengan hal-hal yang lain. Mengenai hal ini, Indonesia merupakan salah satu contoh masyarakat yang multikultural. Dan diantara multikulturalnya Indonesia adalah  aspek agamnya. DiIndonesia setidaknya terdapat beberapa agama yang diakui oleh pemerintah, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Kong Huchu. Agama yang terakhir inilah merupakan hasil Era Reformasi pada pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) (Nazmudin, 2018). Dari agama-agama tersebut terjadilah perbedaan agama yang dianut masyarakat Indonesia. Hal ini bila tidak dijaga dengan baik akan sangat berseiko untuk menimbulkan konflik keagamaan yang sebenarnya konflik keagamaan tersebutu bertentangan dengan nilai-nilai agamanya itu sendiri, karean setiap agama pada dasarnya mengajarkan tentang etika saling menghormati dan hidup damai antar umat beragama.

Dampak positif dari sebuah keberagaman diantaranya antara lain: (1) Dapat memberikan kemudahan kepada masyarakat Indonesia untuk mengenal satu sama lain dan masyarakat yang beragam akan menjadikan interaksi lebih dinamis. (2) Keberagaman masyarakat menjadi salah satu modal dalam perkembangan dan kemajuan bangsa sebab kreatifitas juga inovasi akan jauh lebih berkembang jika terdapat perbedaan dalam berpikir juga berkreasi. (3) Potensi ekonomi akan lebih meningkat mengingat keberagaman akan menjadi magnet tersendiri bagi para wisatawan (4) Keberagaman masyarakat menjadikan sebuah negara memiliki ciri khas tertentu yang membedakannya dari bangsa lain.

Selain dampak positif, juga terdapati dampak negative dari adanya keberagaman,  yaitu: (1) Memunculkan potensi yang tidak kecil akan adanya konflik yang berujung perpecahan di dalam masyarakat. (2) Konflik yang muncul dari keberagaman tersebut bisa menghambat pembangunan nasional. (3) Rawan muncul paham rasisme. (4) Berpotensi akan lahirnya kelompok-kelompok radikal. (5) Apabila tidak dibarengi dengan toleransi, maka pergesekan antar golongan sulit dihindari. (6) Munculnya Etnosentrisme yang berlebihan. (7) Persatuan dan kesatuan lebi sulit untuk diimplementasikan. (8) Sulit untuk menciptakan keseragaman dalam masyarakat sehingga pengelolaan menjadi lebih sulit. Itulah dampak yang ditimbulkan akibat keanekaragaman masyarakat Indonesia.

Sejak Indonesia merdeka, para founding fathernya telah menetapkan semboyan bhineka tunggal ika. Sebuah kesadaran akan pluralitas negara sekaligus upaya konkret untuk menjadikan kenyataan pluralitas yang ada menjadi bagian dari kekuatan negara Indonesia dan meminimalisir konflik-konflik yang terjadi akibat dari banyaknya perbedaan.

Salah satu strategi untuk menyukseskan semboyan Bhineka tunggal ika adalah adanya konsep kerukunan antar umat beragama yang sekarang di implementasikan melalaui program tri kerukunan umat beragama, yaitu : kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama dan kerukunan antar umat beragama dan pemerintah.

Adapun yang menjadi landasan hukum bagi kerukunan umat beragama di Indonesia adalah: Landasan idiil, yaitu Pancasila (sila pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa). Landasan Konstitusional, yakni Undang-Undang Dasar 1945, pasal 29 ayat 1: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” serta pasal 29 ayat 2 disebutkan: “Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Landasan Strategis, Ketetapan MPR No. IV tahun 1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Program PembangunanNasional (PROPENAS) tahun 2000, dinyatakan bahwa sasaran pembangunan bidang agama adalah terciptanya suasana kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang penuh keimanan dan ketakwaan, penuh kerukunan yang dinamis antar umat beragama dan kepercayaan terhad ap Tuhan Yang Maha Esa, secara bersamasama makin memperkuat landasan spiritual moral dan etika bagi pembangunan nasional yang tercermin dalam suasana kehidupan yang harmonis, serta dalam kokohnya persatuan dan kesatuan bangsa selaras dengan penghayatan dan pengalaman Pancasila. Terakhir adalah landasan Operasional; (a) UU No. 1/PNPS/1965 Tentang larangan dan pencegahan serta penghinaan agama; (b) Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama RI No. 01/Ber/Mdn/1969 tentang pelaksanaan aparat pemerintah yang menjamin keterlibatan dan kelancaran pelaksanaan dan pengembangan ibadah pemeluk agama oleh pemeluknya; (c) SK Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri RI No. 01/1978 tentang tata cara pelaksanaan penyiaran agama dan bantuan luar kepada lembaga-lembaga keagamaan swasta di Indonesia; dan (d) Surat Edaran Menteri Agama RI No. MA/432/1981 tentang penyelenggaraan hari besar keagamaan.

Merujuk kepada dasar negara, Indonesia bukanlah negara sekuler, bukan pula negara agama atau negara Islam, melainkan negara Pancasila. Dalam hal penganutan agama, Indonesia menganut prinsip kebebasan, termasuk untuk menyiarkan agama itu sendiri. Negara dan pemerintah tidak menghalangi setiap golongan agama untuk menyiarkan agama dan menyebarkan agamanya.

Dalam hal kebebasan beragama, negara sekuler berprinsip netral-pasif, artinya pemerintah secara netral menjamin kebebasan  beragama dari semua agama tanpa terkecuali, namun di sisi lain, pemerintah tidak mendorong perkembangannya atau bersikap pasif (Hasanah, 2016). Di dalam negara yang menganut sekularisme sebagai suatu dasar filsafat, ajaran agama tidak mendapatkan tempat untuk dipertimbangkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kebijakan-kebijakan publik dapat diambil tanpa mempertimbangkan perasaan keagamaan masyarakat. Negara bersikap netral terhadap masalah-masalah keagamaan dan tidak ikut campur karena hal itu dianggap sebagai masalah pribadi dan umat agama yang bersangkutan.

Pada negara agama, terjadi hal sebaliknya, negara memegang prinsip sektarian-aktif yang bermakna bahwa hanya agama tertentu mendapat perlakuan istimewa pemerintah. Kepada agama yang bersangkutan, pemerintah bukan hanya menjamin hak kebebasan beragamanya, tapi juga secara aktif mendorong pertumbuhannya.

Berbeda dari prinsip kebebasan beragama yang diterapkan oleh negara sekuler dan negara agama, kebebasan beragama dalam  negara Pancasila bersifat netral-aktif yang mempunyai arti bahwa pemerintah bukan hanya menjamin kebebasan beragama dari semua agama, tetapi juga secara aktif mendorong pertumbuhan masing-masing agama tanpa terkecuali (Hasanah, 2016). Dengan berlandaskan Pancasila, negara membimbing masyarakat ke arah sikap moderat dalam menghadapi pluralitas keagamaan.

Sejalan dengan ini, Said Agil Husin Al-Munawar yang dikutip oleh Hasanah menyatakan  bahwa bangsa Indonesia yang berfalsafahkan Pancasila, sila pertama menunjukkan bahwa kesadaran moral bangsa Indonesia ditumbuhkan oleh agama. Sila ini bukan saja menjadi dasar rohani dan dasar moral kehidupan bangsa, melainkan secara implisit juga mengandung ajaran toleransi beragama, dimana toleransi dipahami  sebagai suatu sikap penerimaan terhadap keyakinan orang lain. Agama adalah sesuatu yang diyakini dan dipahami manusia. Keyakinan ini bisa nampak manakala diekspresikan oleh manusia atau sebagai penerapan konkrit nilai-nilai yang dimiliki manusia.

Dari sini dapat difahami bahwa posisi agama pada masyarakat Indonesia sangat penting, Agama sudah menjadi identitas tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Hal ini karena memang sejarah perjuangan melawan penjajah pun sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari aspek agama. Mengenai hal ini, bisa kita mendengar ataupun menulusuri fakta-fakta sejarah bahwa tidak sedikit symbol-simbol agama menjadi symbol perlawanan terhadap penjajah.

Terlepas dari itu, agama yang seakan menjadi identitas masyarakat Indonesia ternyata tidak menimbulkan efek negatif sama sekali bila difahami dan disikapi dengan benar. Bukti nyata akan hal itu adalah kesediaan tokoh-tokoh Islam untuk merubah sila pertama Pancasila menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” seperti yang diketahui sekarang. Hal ini tentu menggariskan bahwa agama yang seakan telah menjadi identitas masyarakat Indonesia ternyata juga memebrikan sebuah toleransi yang cukup tinggi untuk dapat hidup damai dalam keberagaman yang terjadi di Indonesia termasuk dalam keberagaman agama.

Namun, kondisi keberagamaan di Indonesia sejak pasca krisis tahun 1997 sangat memprihatinkan. Konflik bernuansa agama terjadi di beberapa daerah seperti di Poso dan Ambon. Konflik tersebut sangat mungkin terjadi karena kondisi rakyat Indonesia yang multi etnis, multi agama dan multi budaya. Belum lagi dengan masyarakat Indonesia yang mudah terprovokasi oleh pihak yang merusak watak bangsa Indonesia yang suka damai dan rukun. Sementara itu krisis ekonomi dan politik terus melanda bangsa Indonesia, sehingga sebagian bangsa Indonesia sudah sangat tertekan baik dari segi ekonomi, politik maupun agama. Terakhir peristiwa dihancurkannya gedung World Trade Center pada tanggal 11 September 2001 dan Bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 yang menewaskan 180 orang, yang berdampak diidentikkan nya umat Islam dengan teroris dan dituduhnya Indonesia sebagai sarang teroris.

Dari sinilah mulai toleransi di Indonesia mulai goyah, faham-faham yang mengarahkan ke dalam sikap intoleran manggaung ke permukaan, merasa paling benar, mudah menyalahkan orang lain atau bahkan menganggap sesat orang lain menjadi sering terdengar dalam setiap pemberitaan yang ada. Barangkali memang perlu dikaji ulang kalau merebaknya intoleransi mulai dari kejadian-kejadian ini, tapi setidaknya gaung intoleransi memang mulai merebak pasca digiancurkannya World Trade Center ppada tanggal 11 September 2021.

Setelah merebaknya faham radikal yang notabene menyuarakan intoleransi dan menganggap diri mereka paling benar, barulah disadari pentingnya keberadaan toleransi ditengah-tengah negara yang multi etnis, multi budaya dan multi agama. Toleransi seakan menjadi satu-satunya solusi dalam menyikapi berbagai konflik yang ada, misalnya saja mengenai polariasi masyarakat dalam bidang politik, kasus penistaan agama yang diduga dilakukan oleh seorang politisi ataupun dugaan kriminalisasi ulama sampai pada keadaan saling lapor karena menganggap merusak nama baik dan semacamnya.

Pelanggaran intoleransi yang terjadi di Indonesia masih didominasi kasus perbedaan agama dan keyakinan, misalnya kasus penolakan dan penghentian rumah ibadah, pembubaran kegiatan keagamaan (Muawanah, 2018). Melihat fenomena tersebut, harusnya masyarakat bisa lebih terbuka untuk menerima perbedaan. Menerima perbedaan inilah yang disebut sebagai sebuah toleransi. Maka dari itu. Sikap intoleransi harus segera diakhiri di Indonesia. Sikap inilah yang dapat menggoyahkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan menanamkan sikap toleransi di masyarakat dapat membentuk warga negara yang dapat mewujudkan suatu keadaban bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam Islam, Kerukunan diistilahkan dengan “tasamuh” atau toleransi. Kata kerukunan dalam Bahasa arab asal katanya “Rukun” atau “ruknun” artinya asas-asas, seperti rukun Islam. Rukun dalam arti adjective adalah baik atau damai(Surbajti & Asim, 2020). Maka yang dimaksud dengan toleransi adalah kerukunan sosial, Bukan dalam bidang aqidah Islamiyah (keimanan), karena aqidah telah digariskan secara jelas dalam Alquran dan alhadist. Dalam bidang aqidah atau keimanan seorang muslim hendaknya meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama dan keyakinan yang dianut sesuai dengan firman Allah dalam surat Al Kafirun, yang artinya; “Katakanlah: Hai orang-orang yang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.” (QS. al-Kafirun: 1- 6).

Adapun yang menjadi landasan toleransi dalam Islam adalah hadis nabi yang
menegaskan prinsip yang menyatakan  bahwa Islam adalah agama yang lurus serta
toleran. Kemudian Allah dalam firmannya juga memberikan patokan toleransi dalam
sebagaimana ayat berikut :
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (QS. alMumtahanah: 28)

Ayat tersebut menginformasikan kepada semua umat beragama, bahwa Islam tidak melarang untuk  membantu dan berhubungan baik dengan pemeluk agama lain dalam bentuk apapun, selama tidak berkaitan dengan masalah aqidah dan ibadah mahdhah (ibadah wajib), seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya. Konsep  seperti ini telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw bagaimana berkomunikasi secara baik dengan orang-orang atau umat non-Muslim. Islam melarang berbuat baik dan bersahabat dengan orang-orang yang memusuhi Islam dan penganutnya. Mereka yang memusuhi dan memerangi Islam harus ditindak secara tegas, agar mereka mengetahui secara jelas bahwa Islam agama yang menghargai persaudaraan, toleran kepada semua pemeluk agama selama tidak diganggu atau dimusuhi (Bakar et al., 2015).

Dalam sejarahnya, Kerukunan atau toleransi dalam Islam telah berjalan semenjak masa Rasulullah saw. Bahkan salah satu strategi Nabi Muhammad dalam mengembangkan Madinah adalah dengan toleransi yang diwujdukan dalam sebuah konstitusi yang  bernama piagam Madinah. Piagam Madinah sendiri merupakan sebuah konsitusi yang dipercaya sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah peradaban dunia dan yang menjadi luar biasa adalah konstitusi pertama itu menekankan pada aspek toleransi.

Toleransi dalam perspektif yang lebih luas lebih terarah pada pemberian tempat yang luas bagi keberagaman dan perbedaan yang ada pada individu atau kelompok-kelompok lain (Purwaningsih, 2016). Karena itu pemahaman yang menyatakan bahwa toleransi adalah hal yang melahirkan pengebirian terhadap hak-hak individu atau kelompok tertentu untuk disesuaikan dengan kondisi atau keadaan orang atau kelompok lain, atau sebaliknya mengorbankan hak-hak orang lain untuk dialihkan sesuai dengan keadaan atau kondisi kelompok tertentu merupakan pemahaman yang salah. Toleransi justru sangat menghargai dan menghormati perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing individu atau kelompok tersebut, namun di dalamnya diikat dan disatukan dalam kerangka kebersamaan untuk kepentingan yang sama. Toleransi adalah penghormatan, penerimaan dan penghargaan tentang keragaman yang kaya akan kebudayaan dunia kita, bentuk ekspresi kita dan tata cara sebagai manusia. Hal itu dipelihara oleh pengetahuan, keterbukaan, komunikasi, dan kebebasan pemikiran, katahati dan kepercayaan. Toleransi adalah harmoni dalam perbedaan.

Atas dasar ini, jelaslah bahwa toleransi di tengah masyarakat yang beragam adalah sebuah keniscayaan. Tanpa toleransi, konflik-konflik akan bermunculan, baik itu konflik antar etnis ataupun konflik agama. Karena itu , sepertinya tidaklah belebihan bila toleransi seakan menjadi barometer perdamaian kehidupan masyarakat, tinggi rendahnya toleransi akan mempengaruhi aman atau tidaknya kehidupan bermasyarakatj berbangsa dan bernegara.

 

B.   Cara mengajarkan toleransi dan menghormati perbedaan.

Memahami kemajemukan seharusnya tidak sebatas dalam tataran wacana, tetapi harus diwujudkan dalam kehidupan dalam bentuk sikap dan perilaku yang toleran. Toleransi (tasãmuh) berarti sikap membolehkan atau membiarkan ketidaksepakatan dan tidak menolak pendapat, sikap, ataupun gaya hidup yang berbeda dengan pendapat, sikap, dan gaya hidup sendiri. Sikap toleran dalam implementasinya tidak hanya dilakukan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan aspek spiritual dan moral yang berbeda, tetapi juga harus dilakukan terhadap aspek yang luas, termasuk aspek ideologi dan politik yang berbeda. Wacana toleransi biasanya ditemukan dalam etika perbedaan pendapat  dan dalam perbandingan agama. Salah satu etika berbeda pendapat menyebutkan bahwa tidak memaksakan kehendak dalam bentuk-bentuk dan cara-cara yang merugikan pihak lain (Naim, 2020). Dalam Al-Qruan ditemukan prinsip-prinsip “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”, dan “tidak ada paksaan dalam beragama”

Al-Qur'an sebagai representasi pesan-pesan Allah untuk membimbing umat manusia, sebenarnya telah memberikan beberapa sinyal penting, baik secara tersurat maupun tersirat, tentang adanya keberagaman dan perbedaan. Beberapa diantaranya dapat dilihat pada QS. al-Hujurat: 13, sebagai berikut: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengetahui.

Melalui ayat ini Allah swt. Menyatakan bahwa manusia diciptakan terdiri dari laki-laki dan perempuan, suku dan bangsa agar mereka dapat saling mengenal dan saling mengenal atau memahami, saling membantu, saling membutuhkan dan saling memperhatikan. Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial, sehingga hidup bermasyarakat merupakan sebuah keniscayaan. Melalui kehidupan kolektif sebagai sebuah masyarakat tentunya banyak terdapat keberagaman atau perbedaan dalam berbagai hal (Rasyid, 2023).

Kata Syu’ub yang terkandung dalam ayat ini merupakan bentuk jamak dari kata sya’aba yang berarti kelompok atau cabang, sedangkan kata qaba’il merupakan bentuk jamak dari kata qabilah yang berarti sekelompok orang yang saling bertemu dan berkumpul. bisa saling menerima. Kata qaba’il selalu menunjuk pada dua pihak atau lebih yang berpasangan atau saling berhadapan, saling membutuhkan dan melengkapi. Oleh karena itu, sejak diciptakan, manusia berasal dari orang tua yang berbeda, dari suku yang berbeda, atau bahkan dari negara yang berbeda, namun tetap saja mereka saling bergantung, membutuhkan, berinteraksi dan melakukan aktivitas sosial di antara mereka sendiri (Rasyid, 2023). Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 13 yang diturunkan konteksnya sebagai jawaban atas sempitnya pemikiran sebagian sahabat mengenai fenomena perbedaan kulit dan kedudukan, serta menyebabkan mereka mempunyai pandangan yang diskriminatif terhadap orang lain, merupakan salah satu permasalahan yang terus terjadi hingga saat ini.

Sikap memandang rendah orang lain, berpihak atau mementingkan kelompok sendiri atau dalam bahasa Arab dinamakan dengan ashabiyah, tidak siap berbeda dan memperlakukan orang lain dengan tidak adil, adalah di antara sikap- sikap yang mengindikasikan masih lemahnya semangat multikulturalisme dalam kehidupan masyarakat saat ini, baik secara konsep maupun praktik.

Menurut ajaran Islam, multikulturalitas merupakan sunnatullah yang tidak bisadiingkari. Justru dalam multikulturalitas terkandung nilai-nilai penting bagi pembangunan keimanan. Ini sebagaimanadinyatakan QS. Ar-Rum: 22, berikut: Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nyaadalah menciptakan langit dan bumi danberlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar- benar terdapat tanda-anda bagi orang yangmengetahui”.

Dalam perspektif Islam, seluruh manusia berasal dari satu asal yang sama; Nabi Adam dan Hawa. Meskipun nenek moyangnyasama, namun dalam perkembangannyakemudian terpecah menjadi bersuku-suku, berkaum-kaum, atau berbangsa-bangsa, lengkap dengan segala kebudayaan danperadaban khas masing-masing. Semua perbedaan yang ada selanjutnya mendorong mereka untuk saling mengenal dan menumbuhkan apresiasi satu sama lain. Inilah yang kemudian oleh Islam dijadikan dasar perspektif “kesatuan umat manusia”, yang pada gilirannya akan mendorong solidaritas antar manusia. Islam pada dasarnya menyeru kepada seluruh umat manusia untuk menuju kepada cita-cita bersama kesatuan umat manusia tanpa pandang bulu latar belakang ras, etnik, suku, bangsa, bahasa, agama, warna kulit, jenis kelamin, keturunan dan lain-lain. Oleh karena itu, diskriminasi terhadap orang lain atau kelompok tertentu bertentangan dalam Islam (Rasyid, 2023).

Nilai-nilai multikultural ini dalam pendidikan Islam ditanamkan dalam satu materi seperti dalam pembelajaran akhlak. Ini dipelajari di seluruh jenjang pendidikan Islam, mulai dari Madrasah Ibtidaiyah, sampai ke jenjang perguruan tinggi. Pembelajaran akhlak terkait dengan nilai-nilai multikultural ini secara khusus dipelajari di pesantren- pesantren, meskipun dalam tahap fungsional dan penerapannya masih lemah, dan bahkan dalam penjelasannya umumnya masih normatif.

Materi-materi tentang nilai multikultural juga secara implisit sebenarnya diajarkan dalam setiap pelaksanaan ibadah-ibadah dalam Islam. Ini misalnya pelaksanaan ibadah shalat, diajarkan berjama’ah, ada nilai toleransi, persatuan dan persamaan, apakah antara ras, suku, bahasa, budaya dan lain-lain. Semangat dalam ibadah puasa, secaraimplisit mengajarkan umat Islam untuktoleransi kepada masyarakat yang kurangberada, fuqara dan masakin. Orang yang berpuasa harusnya merasakan keadaanmereka, memiliki empati, sehingga tidaksemena-mena dan egois sebagai umat muslim. Ibadah zakat dan haji mengajarkanumat Islam untuk bertoleransi, salingmenghormati, saling menghargai, mempererat hubungan di antara sesama umat Islam dari berbagai kalangan yang berbeda, menyatukanyang berbeda, sehingga dapat hidup denganharmonis dan damai sebagai satu umat berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Lebih jauh materi-materi pendidikanmultikultural harus diberikan bentuk-bentukpemahaman yang tidak saja normatif, namundemikian memberikan bentuk yang fungsional, di mana anak diajarkan untuk menerapkannyasejak dini, ajar mereka tidak sekedar memahi, tetapi menjiwai dan melaksanakannya dalamkehidupan sehari-hari.

Dalam masyarakat multikultural, penganut atau penganut suatu agama mempunyai peranan yang dominan terhadap ajaran agama yang dianutnya atau bahkan diantara mereka terdapat sekelompok masyarakat yang bersikap acuh terhadap agama yang dianutnya. Kenyataan seperti ini akan mengganggu dan juga membantu memahami keberadaan suatu agama dan umatnya. Ada dua kelompok umat beragama dalam masyarakat multikultural, yaitu masyarakat terpelajar dan masyarakat biasa. Kedua komunitas agama ini berbeda dalam menyikapi agama yang dianutnya. Bagi umat beragama yang terpelajar, pemahaman ajaran agama harus mencakup analisis rasional dan mengesampingkan pemahaman intuitif dan simbolik. Mereka mudah terdorong untuk bertoleransi terhadap agama dan penganut agama lain. Sebaliknya, umat beragama awam memahami ajaran agama penuh simbol dan tidak menggunakan analisis rasional. Mereka mudah terpancing emosi dan sangat sulit bertoleransi terhadap agama dan pemeluk agama lain. Kelompok ini mudah dimobilisasi oleh sekelompok orang atau komunitas yang memiliki aliansi politik atau sosial budaya (Casram, 2016).

Kelompok Ordinary People inilah yang paling rawan terhasut isu-isu radikalisme yang berujung pada sikap intoleran yang ditunjukan dalam bentuk ekslusivitas mereka dalam beragama. Hasilnya, konflik antar agama ataupun bahkan antar seagama sangat mungkin terjadi, mengingat mereka adalah kelompok yang tidak rasional dan sangat mudah dimanfaatkan oleh orang-orang yang memiliki kepentingan-kepentingan tertentu dan tidak bertanggung jawab.

Upaya mencegah terjadinya konflik dapat dilakukan dengan memahami nilai-nilai toleransi yang selanjutnya dapat digali melalui pendidikan. Karena dalam hal ini berkaitan dengan fungsi dan tujuan pendidikan sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Fungsi Pendidikan Nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat guna mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Segala fungsi dan tujuan pendidikan tidak akan tercapai apabila seluruh lapisan masyarakat tidak bekerjasama untuk bahu-membahu menyelesaikannya. Apalagi untuk meningkatkan keimanan dan ketaatan seseorang serta meningkatkan sikap akhlak, diperlukan guru-guru yang mumpuni di bidangnya, khususnya guru Pendidikan Agama Islam (Awal, 2020).

Guru mempunyai peranan penting dalam membentuk sikap dan perilaku siswa, termasuk nilai-nilai toleransi. Pembelajaran toleransi dalam Pendidikan Agama Islam yang diterapkan pendidik dalam pembelajaran yang diberikan kepada peserta didik yang berbeda budaya mengarahkan atau mendorong peserta didik untuk mempunyai perasaan positif, mengembangkan konsep diri, mengembangkan toleransi dan mau menerima orang lain. Pentingnya nilai-nilai toleransi bagi peserta didik agar menjadi pribadi yang toleran terhadap segala bentuk perbedaan.Maka bila demikian, Pendidikan tentu merupakan kunci utama bagaimana toleransi bisa diajarkan secara efektif. Melalui Pendidikan diharapkan peserta didik mampu memahami pentingnya toleransi sehingga dapat menghargai perbedaan yang ada sekaligus merubah mindset beragama dari yang mungkin tadinya ekslusif menjadi inklusif, dari yang tadinya sangat kaku dan tekstual, menjadi fleksibel dan kontekstual.

Hanya saja tentu perlu dikaji kembali Pendidikan yang seperti apa yang mampu untuk memberikan pemahaman terhadap peserta didik tentang pentingnya toleransi, saling menghargai dan menerima segala bentuk perbedaan sebagai sesuatu yang mendasar dan lumrah sehingga tidak perlu dijadikan sebagai sebuah masalah tetapi justru harus menjadi bagian yang saling menguatkan satu sama lain. Pendidikan yang seperti ini tentu Pendidikan yang berorientasi pada kemanusiaan, kebersamaan serta anti hegemoni dan dominasi. Dalam hal ini Pendidikan yang seperti itu adalah Pendidikan Multikultural.

Pendidikan multikultural dianggap akan mampu membangun masyarakat yang multikultural dan toleran yang selama ini menjadi tantangan pendidikan nasional. Di sisi lain, masyarakat yang demokratis yang multikultural memerlukkan sistem pendidikan yang demikian. Sistem pendidikan nasional di dakam Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional perlu dikaji pelaksanaannya agar cita-cita dapat terwujud dalam pelaksanaanya. Pendidikan multikultural memerlukkan kajian mendalam mengenai konsep dan praksis pelaksanaanya.

Pendidikan multikultural mampu menerima perbedaan. Pendidikan multikultural diterapkan kepada siswa dapat memberikan pemahaman sehingga mampu menerima perbedaan, kritik, dan memiliki rasa empati serta toleransi (Widyanto, 2017). Sekolah menjadi wahana bagi perubahan sosial dari masyarakat. Pendidik dapat membantu peserta didik mengkonseptualisasi dan menumbuhkan apresiasi tentang struktur sosial alternatif, memungkinkan peserta didik memperoleh pengetahuan. Tujuan inilah yang akan dikembangkan dalam menjadi program pendidikan multikultural di sekolah.

Pendidikan multikultural dapat membantu peserta didik menemukkan jati diri dan budaya, perbedaaan budaya yang beragam, dan toleransi. Tujuan pendidikan multikultural membantu peserta didik membahami latar belakang diri dan kelompok, menghormati dan mengapresiasi kebhinekaan, menyesaiakan masalah etnosentris, memahami faktor ekonomi, sosial, psikologis, dan historis, meningkatkan kemampuan kritis terhadap masalah, dan mengembangkan jati diri (Widyanto, 2017).

Pendidikan multikulturalisme menawarkan kepada peserta didik tentang cara pandang dan sikap dalam menghadapi perbedaan dan heterogen kelompok etnis, relasi gender, hubugan antar agama, kepentingan, kebudayaan, dan bentuk lain keberagaman. Perlu dikembangkan dalam nilai-nilai multikultural dalam pandangan umum, yaitu memperkuat kesadaran budaya, memperkuat kesadaran budaya, mengembangkan aksi sosial (Widyanto, 2017). Pada kaitannya dengan proses pembelajaran harus dipahami karakteristik multikultural.

Penanaman pilar multikultural dalam praktik pendidikan meliputi proses: pengembangan sikap toleran, membangun saling percaya, memelihara rasa percaya, memelihara rasa pengertian, menjunjung tinggi sikap saling menghargai (Widyanto, 2017). Pendekatan pembelajaran dapat dilakukan untuk menyelenggarakan pendidikan multikultural. Strategi pembelajaran multikultural dengan mengedepankan wawasan dan pemahaman yang mendalam tentang adanya keragaman dalam kehidupan sosial. Proses pembelajaran yang difasilitasi guru berorientasi pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Lalu, apa sebenarnya pendidikan multikultural itu? Strategi pendidikan multikultural telah lama berkembang di Amerika, Eropa dan negara maju lainnya. Dengan demikian wacana mengenai pendidikan multikultural bukanlah hal yang baru. Strategi ini merupakan pengembangan dari kajian antar budaya dan multikulturalisme (Anam & Marlina, 2022). Dalam perkembangannya, penelitian ini menjadi kajian khusus mengenai pendidikan multikultural yang pada awalnya bertujuan untuk memastikan bahwa penduduk mayoritas dapat bersikap toleran terhadap pendatang baru. Selain itu mempunyai tujuan politik sebagai alat kontrol sosial penguasa terhadap warga negaranya agar negara aman dan stabil. Namun dalam perkembangannya, tujuan politik tersebut hilang karena semangat pendidikan multikultural adalah demokrasi, humanisme dan pluralisme yang anti kontrol dan tekanan yang membatasi dan menghilangkan kebebasan manusia. Pendidikan multikultural kemudian menjadi motor penggerak dalam menegakkan demokrasi, humanisme dan pluralisme yang dilakukan melalui sekolah, kampus dan lembaga pendidikan lainnya.

James Banks mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan bagi orang kulit berwarna (James A, 1993). Artinya pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai sebuah keniscayaan (sunnatullah), lalu bagaimana kita mampu menyikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleransi dan semangat egaliter. Hilda Hernandez mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial dan ekonomi yang dialami oleh setiap individu dalam perjumpaan manusia yang kompleks dan beragam secara budaya, dan mencerminkan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnis, agama, status sosial. , ekonomi, dan pengecualian dalam proses pendidikan (Anam & Marlina, 2022).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan multikultural adalah sebuah bentuk pendidikan yang menerapkan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada peserta didik seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dan ras. Dan yang paling penting, strategi ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran peserta didik  agar selalu berperilaku humanis, pluralis, dan demokratis.

Istilah pendidikan multikultural dapat digunakan baik pada tingkat deskriptif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif ini, maka kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi, tema- tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, HAM, demokratis dan pluralitas, ke- manusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.

Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, dikenal lima pendekatan, yaitu: pertama, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme. Kedua, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan. Ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan. Keempat pendidikan dwi-budaya. Kelima, pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia. Dalam konteks sejarah, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau pemikiran tidak muncul dalam ruangan yang kosong, namun ada interes politik, sosial, ekonomi, dan intelektual yang mendorong kemunculannya (Anam & Marlina, 2022).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Anam, C., & Marlina, T. (2022). Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Pembelajaran. Awwaliyah: Jurnal Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, 5(1), 8–16. https://doi.org/10.58518/awwaliyah.v5i1.919

Awal, R. A. (2020). Nilai-nilai Toleransi Dalam Pembelajaran l Agama Islam (Studi SMPN 1 Basarang Kec. Basarang Kab. Kapuas). Tarbiyah Islamiyah, 10(1), 60. http://jurnal.uin-antasari.ac.id/index.php/tiftk/article/view/5080

Bakar, A., Sultan, U., & Riau, S. K. (2015). Konsep Toleransi Dan Kebebasan Beragama. 103.193.19.206, 7(2), 123–131. https://situswahab.wordpress.com

Casram, C. (2016). Membangun Sikap Toleransi Beragama dalam Masyarakat Plural. Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya, 1(2), 187–198. https://doi.org/10.15575/jw.v1i2.588

Hasanah, R. (2016). Kerukunan umat beragama : studi kasus pemahaman masyarakat Mustika Jaya, Bekasi terhadap Peraturan Bersama Menteri No. 9 dan 8 tahun 2006 (Issue 9).

James A. (1993). Multicultural Education. Allyn and Bacon.

Muawanah. (2018). Pentingnya Pendidikan untuk Tanamkan Sikap Toleran di Masyarakat. Jurnal Vijjacariya, 5(1), 57–70.

Naim, N. (2020). Membangun Toleransi Dalam Masyarakat Majemuk Telaah Pemikiran Nurcholis Madjid. Harmoni, 12(2), 31–42. https://doi.org/10.32488/harmoni.v12i2.153

Nazmudin, N. (2018). Kerukunan dan Toleransi Antar Umat Beragama dalam Membangun Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Journal of Government and Civil Society, 1(1), 23. https://doi.org/10.31000/jgcs.v1i1.268

Purwaningsih, E. (2016). Mengembangkan Sikap Toleransi dan Kebersamaan di Kalangan Siswa. Jurnal Visi Ilmu Pendidikan, 7(2), 1699–1715. https://doi.org/10.26418/jvip.v7i2.17156

Rasyid, M. (2023). Islam Dan Pendidikan Multikultural. AT-TAISIR: Journal of Indonesian Tafsir Studies, 2(2), 112–124. https://doi.org/10.51875/attaisir.v2i2.94

Surbajti, J. B., & Asim, A. (2020). Kerukunan Umat Beragama Di Indonesia Menurut Tarmizi Taher. Nazharat: Jurnal Kebudayaan, 26(01), 207–231. https://doi.org/10.30631/nazharat.v26i01.32

Widyanto, D. (2017). Pembelajaran toleransi dan keragaman dalam pendidikan pancasila dan kewarganegaraan di sekolah dasar. Prosiding Konferensi Nasional Kewarganegaraan III, 3(November), 109–115.

 

 

 

Generasi Muttaqin, Unggul,Trampil ,Mandiri dan Berprestasi

Tutorial PPDB Online MTs KH A Wahab Muhsin 2023

PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU MADRASAH 2025

https://www.mtskhawahabmuhsin.sch.id/ppdb/

Follow Us :